PERBEDAAN
PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH DALAM HAJI
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Perbandingan Madzhab
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) SMT IV

Disusun Oleh:
Kelompok IX
1.
Nafilaturrohmah (1414112093)
2.
Abdul
Muhit (1414113115)
3.
Vanny Yolanda (1414112114)
DosenPengampu
:
Drs. H.Abdul Ghofar, MA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATICIREBON
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rukun haji
ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tidak sah tanpa rukun tersebut.
Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda), yaitu meyembelih binatang. Wajib
haji ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tetap sah bila wajib haji
itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang).
Bagi setiap
haji, baik haji tamattu, qiran, atau ifrad diwajibkan melempar jumrah di Mina.
Jumlah jumrah tersebut sebanyak sepuluh. Pertama pada hari raya, yang dinamakan
Jumratull ‘Aqabah adalah amalan haji pertama yang dilakukan di Mina pada
tanggal 10 Dzulhijjah. Mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat
perbedaan pendapat yaitu yang pertama melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari
dan yang kedua melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar. Mengenai mabit (bermalam)
di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: pendapat Imam Malik,
Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq
hukumnya wajib sedangkan pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari
Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian lontar/ lempar jumroh?
2.
Bagaimana sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar
jumroh?
3.
Apa hukum lempar jumroh?
4.
Apa saja syarat-syarat melempar jumrah?
5.
Apa saja sunnat-sunnat melempar jumrah?
6.
Apa hukumnya mabit (bermalam) di Mina?
7.
Bagaimana pendapat Ulama Fiqh tentang waktu melempar jumroh?
8.
Bagaimana waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan
hukumnya?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengertian
lontar/ lempar jumroh.
2.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar
jumroh.
3.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hukum lempar jumroh.
4.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan syarat-syarat melempar jumrah.
5.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sunnat-sunnat melempar jumrah.
6.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hukumnya
mabit (bermalam) di Mina.
7.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pendapat Ulama Fiqh tentang waktu melempar
jumroh.
8.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq
dan hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lontar Jumroh
Lempar jumrah atau lontar jumrah adalah sebuah kegiatan yang merupakan
bagian dari ibadah
haji tahunan ke kota suci Mekkah, Arab
Saudi. Para jamaah haji melemparkan
batu-batu kecil ke tiga tiang (jumrah berasal dari bahasa
Arab: jamarah,
jamak: jamaraat) yang
berada dalam satu tempat bernama kompleks Jembatan
Jumrah, di kota Mina yang terletak dekat Mekkah.
Para jamaah mengumpulkan batu-batuan tersebut dari tanah di hamparan Muzdalifah dan meleparkannya. Kegiatan ini adalah kegiatan kesembilan dalam
rangkaian kegiatan-kegiatan ritual yang harus dilakukan pada saat melaksanakan
ibadah haji, dan umumnya menarik jumlah peserta yang sangat besar (mencapai
lebih dari sejuta jemaah).[1]
B.
Sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar
jumroh
عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال
:” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع
حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ
في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال
ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau
menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah
haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu
Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah
. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim
melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke
tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu
Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke
tanah“. Ibnu
Abbas kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu
(dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.
Dari sisi sanad riwayat di atas tidak ada masalah; status
sanadnya shahih. Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim,
beliau berdua menshahihkan riwayat ini. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17), hadits nomor 1156.
Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu
Abbas di atas. Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah
melempari setan secara konkrit. Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar
sedang terikat di tugu jumrah dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan
yang mengenai tubuhnya. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas
dalam perkataan beliau. Merajam setan di sini tidak dimaknai makna konkrit,
akantetapi yang benar adalah makna abstrak. Artinya setan merasakan sakit dan
terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan
perintah Allah. Dalam pernyataan Ibnu Abbas diungkapkan dengan istilah “merajam
setan”. Demikianlah yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam perkataannya tersebut. Terdapat
bukti yang kuat, yang membenarkan kesimpulan ini. Diantaranya adalah firman
Allah ta’ala,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي
أَيَّامٍ مَعْدُودَات
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam
beberapa hari yang berbilang” (QS. Al-Baqarah: 203).
Masuk dalam cakupan perintah berdzikir pada hari-hari yang
berbilang dalam ayat di atas adalah melempar jumrah. Karena Allah ta’ala berfirman pada potongan ayat
selanjutnya,
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْه
“Barangsiapa yang ingin segera menyelesaikan
lempar jumrahnya dalam dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang
ingin menyempurnakannya dalam tiga hari, maka tidak ada dosa pula baginya.”
(QS. Al-Baqarah: 203)
Ini bukti bahwa hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah
untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, bukan untuk
melempari setan. (Adhwa-ul Bayan, 4/479). Juga sesuai dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ
بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ
اللَّه
“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah,
sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu
Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
Setelah menyampaikan hadits ini, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
هذه هي الحكمة من رمي الجمرات
ولهذا يكبر الانسان عند كل حصاة لا يقول: اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بل يكبر
ويقول : الله اكبر. تعظيما لله الذي شرع رمي هذه الحصى
“Inilah hikmah dari ibadah
melempar jumrah. Oleh karena itu, (saat melempar jumrah) orang-orang bertakbir
di setiap lemparan, mereka tidak mengucapkan,
“A‘uudzubillahi
minasy syaithaanir rajiim” (aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk). Mereka justru bertakbir, “Allahu akbar“, sebagai bentuk
pengagungan kepada Allah yang telah mensyariatkan ibadah melempar jumrah.” (Majmu’
Fatawa War Rasaa-il Ibni ‘Utsaimin, 3/133)
Jadi, hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah untuk
mengingat Allah ta’ala.
Bukan sebagaimana keyakinan sebagian orang, yang mengatakan bahwa melempar
jumrah dalam rangka melempari setan.
Dari Imam Nawawi rahimahullah, berkata:
ومن العبادات التي لا يفهم
معناها : السعي والرمي ، فكلف العبد بهما ليتم انقياده ، فإن هذا النوع لاحظ للنفس
فيه ، ولا للعقل ، ولا يحمل عليه إلا مجرد امتثال الأمر ، وكمال الانقياد فهذه
إشارة مختصرة تعرف بها الحكمة في جميع العبادات والله أعلم انتهى كلام النووي
“Sebagian ibadah tidak diketahui
maksud atau tujuannya, semacam sa’i dan melempar jumrah. Allah membebani
seorang hamba untuk melakukan dua ibadah tersebut agar kepatuhannya kepada
Allah semakin sempurna. Karena jiwa tidak mengetahui hikmah yang terkandung di
dalamnya, tidak pula akal”.
Tidak ada motivasi yang mendorongnya untuk melakukan perintah
tersebut, melainkan semata-mata mematuhi seruan Allah, serta ketundukan yang
sempurna (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dengan kaidah
ringkas ini, akan mengetahui hikmah semua ibadah.”
(Dikutip oleh Syaikh Muhammad
Amin Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir beliau Adhwaa-u
Al-Bayan 4/480, dari
kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab).
Berkata
Abdul Hamid al-Ghazali rahimahullah dalam buku al-ihya’ sebagai berikut: mengenai
melempar jumrah hendaklah diniatkan oleh si pelempar tunduk kepada perintah dan
menyatakan pengabdian dan penghambaan diri, didorong oleh semata-mata
ketundukan dan kepatuhan, tanpa memberikan lowongan bagi pengaruh cita ataupun
rasa. Kemudian hendaklah di maksudkannya pula buat mengikuti jejak langkah Ibrahim
sewaktu dihadang oleh iblis ditempat itu untuk merusak ibadah hajinya atau
menggodanya agar melakukan ma’siat, lalu ia di titah oleh Allah Swt, agar
melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan mematahkan harapannya.
C.
Hukum Lempar Jumroh
Rukun ialah sesuatu yang harus dikerjakan dan haji
tidak sah, tanpa rukun tersebut. Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda),
yaitu meyembelih binatang. Wajib ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji
tetap sah bila wajib haji itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam
(menyembelih binatang). Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu
melempar jumrah aqabah dan melempar tiga jumrah.
Jumhur ulama bependapat bahwa melempar jumroh
itu hukumnya wajib dan ia merupakan rukun, dan bahwa meninggalkannya dapat
diganti dengan menyembelih hewan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dan Nasai dari Jabir ra, berkata :
رءيت النبى صلى الله عليه و سلم يرمى الجمرة على راحلته يوم
النحر, ويقول: لتآخذ واعنى منا سككم فآنىذ لاآدرى لعلى لاأحج بعد حجتى هذه
“Saya melihat Nabi Saw. Melempar jumrah dari
kendaraannya pada hari nahar, lalu sabdanya; “hendaklah kamu mencontoh
upacara-upacara haji mu dari padaku, karena aku tidak tahu apakah aku masih
akan naik haji lagi setelah haji ini”
Diterima dari Abdurrahman Taimi, katanya: “Kami
di titah oleh Rasulullah Saw, untuk melempari jumrah diwaktu haji wada’ dengan
batu-batu kecil sebesar kacang”
Ibnu ‘Umar biasa mengambil batu-batu krikil itu
di Muzdalifah, hal itu juga dilakukan oleh Sa’id bin Jubeir: “Orang-orang
mengambil bekal krikil itu di sana”. Dan imam syafi’i memandangnya itu sunah.
D.
Syarat-Syarat Melempar Jumrah
Melempar
beberapa jumrah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Niat, Imamiyah mengharuskannya. Pelontaran Jumrah tidak didorong oleh niatan
yang lain yang bukan ibadah Haji.
2.
Lemparan itu harus dengan tujuh batu, menurut
sepakat ulama. Melontar
Jumrah 7 kali dengan yakin, walaupun hanya dengan satu batu yang digunakan
berulang kali. Andaikata dengan 7 batu yang dilontarkan sekaligus maka
pelontaran tersebut dihitung satu kali.
3.
Lemparan itu harus dengan batu secara
satu-satu, dan tidak boleh dua-dua atau juga sekaligus, menurut sepakat semua
ulama.
4.
Batu yang dilempar itu harus sampai ke Jumrah,
yakni mencapai sasarannya, menurut sepakat ulama. Tempat yang dituju dengan pelontaran tersebut adalah lobang
tempat batu-batu kerikil, bukan tugu yang berada di tengahnya dan bukan dinding
di kanan kirinya.
5.
Sampainya batu harus dilakukan (dengan cara)
dilempar. Maka tidak cukup hanya dengan jatuh, menurut Imamiyah, Syafi’i.
Tetapi menurut Hambali dan Hanafi boleh. Melontar dengan tangan jika mampu, dan
perbuatannya harus yang bernama melontar (bukan meletakkan dan lain
sebagainya).
6.
Yang dilempar itu harus batu. Maka tidak cukup
dengan garam, besi, kuningan, bambu, dan tembikar, menurut semua ulama mazhab
selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis dari tanah
dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu.
7.
Batu-batu yang dilempar itu adalah batu-batu
yang belum pernah dipakai untuk melempar, hal
ini dijelaskan oleh Hambali tetapi tidak disyaratkan suci dalam
melempar, namun bila suci, itu lebih utama. Boleh juga melempar dengan krikil-krikil bekas, yakni yang
dipungut dari sekeliling jumrah. Tetapi bagi golongan Hanafi, juga bagi Syafi’i
dan Ahmad menghukuminya makruh.
8.
Pelontaran Jumrah pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12
dan 13) harus tertib, yakni mendahulukan Jumrah Ula kemudian Jumrah Wustha dan
yang terakhir Jumrah Aqobah.
9.
Harus masuk waktu pelontaran Jumrah tersebut. Tidak sah
dilakukan diluar waktunya.
E.
Sunnat-Sunnat Melempar Jumrah
1.
Dengan tangan kanan.
2.
Kerikilnya kira-kira sebesar kacang tanah atau lebih kecil
dari ujung jari.
Imamiyah, batu
yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya
adalah khirsy, tidak hitam, tidak putih, dan tidak merah. Mazhab yang
lain disunnahkan sebesar biji kacang. Seandainya seseorang melampauinya cukup menghukumi makruh.
Tetapi menurut Ahmad tidak sah, sampai ia menggantinya dengan batu-batu krikil.
Berdasarkan perbuatan Nabi Saw., juga larangannya terhadap demikian. Diterima
dari Sulaiman bin ‘Amr bin Ahwsah Azdi yang diterimanya dari ibunya yang
mengatakan: “saya dengar Rasulullah Saw. Ketika itu ia sedang berada di dasar
lembah dan bersabda: “Hai manusia! Janganlah kamu berbunuh-bunuhan! Maka jika
kamu melempar jumroh, gunakanlah batu-batu krikil”.
Dalam hal ini golongan Hanafi berbeda pendapat.
Menurut mereka boleh dengan apa saja termasuk jenis tanah, baik berupa batu,
tanah, tembikar, batu bata dan lain-lain. Karena hadits-hadits yang diterima
mengenai melempar adalah mutlak tanpa kaitan. Mengenai perbuatan Rasulullah
Saw, dan para sahabat hanya menunjukan bukan keutamaan,
bukan pembatasan.
3.
Kerikilnya dicuci
4.
Setiap lontaran disertai dengan bacaan takbir.
5.
Menghadap kiblat waktu melontar Jumrah pada hari-hari
Tasyriq.
6.
Berdo’a kepada Allah dengan menghadap kiblat sesudah
melontar Jumrah Ula dan Wustha.
Imamiyah, bagi orang
yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua perbuatan-perbuatan haji itu
dengan menghadap kiblat, kecuali pada jumrah ‘aqabah pada hari raya. Mazhab
lain, bahkan disunnahkan menghadap kiblat dalam semua keadaan.
Disunnahkan
pula ketika melempar sambil berjalan kaki, tetapi dibolehkan sambil menaiki
kendaraan. Tidak boleh jauh dari jumrah lebih dari 10 hasta, disunnahkan pula
dengan tangan kanan, dan berdoa dengan doa yang baik, indah serta doa-doa yang
terkenal. Diantara doa yang terkenal itu seperti berikut:
“ya
Allah, jadikanlah haji itu haji yang diterima, dan dosa yang diampuni... ya Allah,
sesungguhnya ini adalah batu hitunganku, maka hitunglah terhadap diriku, dan
masukkanlah ia dalam amalanku... Allah Maha Besar, Ya Allah jauhkanlah syetan
dariku...”
7.
Muwalat / berturut-turut antara lontaran-lontaran setiap
Jumrah.
F.
Hukum Mabit (Bermalam)
di Mina
Salah satu
tempat yang bersejarah bagi umat Islam adalah Mina. Mina adalah sebuah lembah
di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi.
Mina didatangi oleh jama’ah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum
wukuf di Arafah. Jamaah haji tinggal disini selama sehari semalam hingga dapat
melakukan shalat Dzhuur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian setelah
selesai mengerjakan shalat shubuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke
Arafah. Amalan seperti ini dilakukan Rasulullah Saw saat berhaji dan hukumnya
Sunnah, artinya tanggal 9 Dzulhijah sebelum berangkat ke Arafah tidak wajib
mabit di Mina.
Mengenai mabit
(bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu:
1.
Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan
Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, kecuali
karena udzur syari’. Apabila sama sekali tidak mabit pada hari-hari tasyriq
(11,12, dan 13 Dzulhijjah) wajib membayar dam seekor kambing.
Apabila
meninggalkan mabit satu malam maka wajib membayar fidyah 1 mud (3/4 liter beras
atau semacamnya), dan apabila meninggalkan mabit 2 malam (bagi yang nafar
sani), maka fidyahnya 2 mud.
2.
Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain
dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat. Apabila sama sekali tidak mabit
di Mina pada hari-hari tasyriq disunatkan membayar dam seekor kambing dan
apabila hanya sebagian saja maka di sunatkan membayar fidyah.[9]
G.
Waktu Melempar Jumroh Menurut Para Ulama’
Fiqh
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang
melontar jumroh ‘Aqabah sebelum terbitnya fajar:
1.
Malik menilai tidak sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah
Saw memberi rukhsah (keringanan) pada seorang pun untuk melontar jumrah Aqabah
sebelum terbit fajar. Jadi hal itu tidak boleh dilakukan. Apabila ia
melontarnya sebelum terbit fajar maka dia wajib mengulang kembali lontarannya.
Inilah pendapat Abu Hanifah, Sufyan dan Ahmad.
2.
Imam Syafi’i berpendapat: tidak mengapa dia melakukannya.
Meski Imam Syafi’i menganjurkan agar melontar setelah terbit fajar. Hujjah
mereka yang tidak membolehkannya adalah perbuatan Nabi Saw di samping sabda
beliau: خدوا عنى منا سككم “Ambilah dari ku cara ibadah haji kalian”
Dan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah Saw
mendahulukan orang-orang lemah dari keluarga beliau seraya bersabda: لاترموا الجمرة حتى تطلع الشمس “janganlah kalian melontar jumrah sampai matahari terbit”.
Sedangkan dasar pegangan kalangan ulama yang
membolehkan melontar jumrah sebelum fajar adalah hadis Ummu Salamah ra yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan perawi lainnya yaitu bahwa Aisyah ra berkata :
Rasulullah Saw menjemput Ummu Salamah pada hari penyembelihan hewan kurban,
lalu ia melontar jumrah sebelum fajar. Setelah itu dia berlalu dan mengerjakan
thawaf ifadoh. Hari itu adalah giliran Rasulullah Saw untuk bersamanya.
Para ulama telah bersepakat bahwa waktu yang dianjurkan
untuk melontar jumrah aqabah adalah setelah matahari terbit sampai
tergelincirnya matahari. Jika seseorang melontarkannya sebelum matahari
terbenam maka lontarannya di anggap sah dan ia tidak menanggung apapun. Imam Malik
menganjurkan untuk menyambelih hewan kurban.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang
melontar jumrah aqabah saat matahari telah terbenam dan telah masuk malam hari
atau hari berikutnya.
1.
Malik berpendapat dia wajib membayar denda (Hewan)
2.
Abu Hanifah menilai jika dia melontarnya pada malam hari,
dia tidak terkena kewajiban apa pun. Namun jika ia mengakhirkannya hingga esok
hari, maka ia wajib membayar denda.
3.
Abu Yusuf, Muhammad, dan Syafi’i berpendapat jika ia
mengakhirkannya hingga malam hari atau hari berikutnya, dia tidak terkena
kewajiban apapun. Hujjah mereka adalah sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw
memberi rukhsah kepada para pengembala unta untuk melakukan hal tersebut
(maksudnya, beliau memberi mereka rukhsah untuk melempar pada malam hari). Ada
seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw, “wahai Rasulullah, bolehkah aku
melontar jumrah pada malam hari”. Beliau menjawab, “tidak mengapa”
Hukum melempar Jumroh adalah wajib dan bila
ditinggalkan, maka ia harus membayar Dam. Melempar Jumroh Aqobah pada tgl 10
Dzul Hijjah afdholnya dilaksanakan sebelum mengerjakan amalan yang lain
sesampainya ke Mina dari Muzdalifah, karena amalan tersebut sebagaimana
thawafnya orang yang masuk Masjidil Haram Makkah adalah Tahiyyatal Masjid;
Melempar Jumroh Aqobah tgl 10 adalah Tahiyyatal Mina. Melempar Jumroh Aqobah “
Afdolnya “ setelah terbit Matahari hingga tengah hari (Zawal) menurut pendapat
Ulama.
Sedangkan hukum jawaz (bolehnya) memulai melempar
Jumroh Aqobah pada tgl 10 (hari Nahr) ada berbagai pendapat :
1.
Menurut Imam Syafi’i
Masuknya waktu melempar jumroh Aqobah adalah tengah malam akhir pada malam Idul
Adha, sampai akhir hari Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari,
hal itu dibolehkan; Dan apabila sampai batas waktu tersebut tidak melempar
Jumroh, maka ia harus membayar Dam.
2.
Menurut Imam Hanafi masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah
adalah terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari pada hari Nahr dan boleh
melempar pada malamnya hingga fajar hari berikutnya, akan tetapi hukumnya
Makruh, dan tidak membayar Dam. Apabila diakhirkan hingga terbenam matahari
pada akhir hari Tasyriq, maka boleh, akan tetapi ia harus membayar Dam (dan
tidak dikatakan qodlo’).
3.
Menurut Imam Maliki, masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah
adalah terbitnya fajar hingga terbenamnya Matahari pada hari Nahr dan itu
dikatakan Ada’. Adapun setelah terbitnya matahari hingga akhir Hari Tasyriq
maka dikatakan Qodlo’ dan ia harus membayar Dam dengan Qodho’.
4.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, Masuknya waktu melempar
jumroh Aqobah adalah tengah malam pada malam Idul Adha, sampai akhir hari
Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari, dan tidak sah
dilakukan pada malam hari di hari-hari Tasyriq, dan jika di akhirkan
melemparnya pada akhir hari Tasyriq, maka tidak boleh melempar kecuali setelah
Zawal, dan tidak membayar Dam.
Adapun berhenti membaca talbiyahnya orang yang
berhaji, menurut Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan para
Ulama’ Jumhur adalah ketika awal melempar Jumroh Aqobah (lemparan kerikil yang
pertama).
H.
Waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan
hukumnya
Hukumnya yaitu wajib dan meninggalkannya harus
membayar Dam. Waktunya ialah tidak sah melempar Jumroh kecuali setelah Zawal
(Matahari di tengah-tengah / siang hari), ini pendapat Ulama’ Jumhur dan Imam
4, sebagaimana hadits Jabir : yang artinya “ Bahwa Rasulullah Saw
melempar Jumroh pada hari pertama dhuha (pagi hari setelah terbit Matahari),
kemudian beliau tidak melempar lagi setelah itu kecuali setelah turunnya
Matahari (setelah Zawal)” HR. Muslim. Dan dari Ibn Umar berkata “ Kami menanti
saat baik, tiba-tiba matahari telah turun, maka kami melempar jumroh” (HR.
Bukhori).
Akhir waktu melempar Jumroh yaitu tgl 13 Dzul
Hijjah, ketika terbenam Matahari, menurut pendapat Ulama’ Jumhur, Abu Hanifah,
Malik dan Syafi’i Dan apabila diakhirkan hingga malam hari sebelum Fajar, maka
tidaklah membayar Dam, menurut Abu Hanifah.
Melempar tiga
jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah)
sesudah zawal (tergelincir matahari), sebagaimana hadits Ibnu Abbas.
Rasulullah
melontar jumrah sesudah matahari tergelincir. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Dengan demikian
tidak boleh melempar jumrah sebelum zawal. Sesudah zawal dimulai melontar
jumrah sampai menjelang matahari terbenam. Sekiranya melontar pada malam
harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah, karena keluar dari waktu yang
ditetapkan. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan
sebelum terbit fajar, dibolehkan dan tidak usah membayar dam. Hanabilah
berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal.
Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam
matahari.[7]
Imamiyah juga
berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai
terbenamnya. Kalau ia lupa ia harus melaksanakan besoknya. Kalau lupa lagi, ia
harus melaksanakannya pada hari kedua belas. Dan kalaupun tidak ingat juga,
maka ia harus melaksanakannya pada hari ketiga belas. Dan apabila lupa
selamanya sampai keluar dari Mekkah, maka ia harus melaksanakannya pada tahun
yang akan datang, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan pada orang lain.[8]
CATATAN:
1.
Sesudah melontar Jumrah Aqobah tersebut, orang Haji
disunnatkan menyembelih qurban atau hewan hadyu. Waktu penyembelihan di mulai
ketika terbit matahari pada hari raya Adha dan sesudah kira-kira shalat Id
dengan kedua khutbahnya dilakukan, dan berakhir dengan masuknya waktu Maghrib
tanggal 13 (yakni berakhirnya hari Tasyriq).
2.
a. Melontar Jumrah Aqobah saja itu, awal waktunya ialah
malam 10 sesudah pertengahan malam dan penghabisannya tanggal 13 sebelum
Maghrib.
b.
Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya
ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13
sebelum Maghrib.
c.
Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 12, awal waktunya
ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13
sebelum Maghrib.
d.
Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya
ketika masuk waktu Dzuhur dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
e.
Jadi andai kata orang Haji hendak melakukan semua
pelontaran tersebut dijadikan satu waktunya pada tanggal 13 sebelum
Maghrib adalah sah dan termasuk ada’ (bukan qodho’) asal tertib. Yaitu : Milik
Jumrah Aqobah tanggal 10 didahulukan, kemudian milik tanggal 11
Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik tanggal 12 Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik
tanggal 13 Ula-Wustha-Aqobah. Kalau dibalik tidak sah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melempar jumrah
adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah ‘aqabah dan melempar tiga
jumrah. Melempar jumrah ‘aqabah dilaksanakan pada hari raya haji, 10
Dzulhijjah. Kemudian mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan
pendapat. Melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari : Imam Abu
Hanifah, Malik, Sufyan, dan Imam Ahmad, berpendapat, melontar jumrah ‘aqabah
dilaksanakan sesudah terbit matahari.Hambali dan Imamiyah berpendapat tidak
boleh melempar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar tanpa ada udzur.
Melontar jumrah
sesudah malam hari, atau keesokan harinya terdapat perbedaan pendapat : Imam
Malik mengatakan harus membayar dam, Imam Abu
Hanifah mengatakan, bila orang itu melontar jumrah pada malam
harinya, tidak usah membayar dam dan bila melontar jumrah pada keesokan harinya
harus membayar dam, Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat dan murid Abu
Hanifah) mengatakan, tidak usah membayar dam.
Melontar Jumrah
Sebelum Terbit Fajar : Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat,bahwa melontar
jumrah sesudah tengah malam menjelang hari raya dan lebih afdal sesudah terbit
matahari.
Melempar tiga
jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah)
sesudah zawal (tergelincir matahari). Melontar pada malam harinya, mesti
diqadha menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada
malam harinya dan sebelum terbit fajar dibolehkan. Hanabilah berpendapat, tidak
boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah
berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari.
Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya
matahari sampai terbenamnya.
Mengenai mabit
di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: Pendapat Imam Malik,
Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq
hukumnya wajib. Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i
mabit di Mina hukumnya sunat.
Melempar jumrah
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Niat, Imamiyah mengaharuskannya,
sampainya batu harus dilakukan (dengan cara) dilempar menurut Imamiyah,
Syafi’i. Tetapi menurut Hambali dan Hanafi boleh. Menurut semua
ulama mazhab selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis
dari tanah dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu. Batu-batu yang
dilempar belum pernah dipakai untuk melempar, hal ini dijelaskan oleh Hambali.
Imamiyah, batu
yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya
adalah khirsy. Mazhab yang lain disunnahkan sebesar biji kacang.
Imamiyah, bagi orang yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua
perbuatan-perbuatan haji itu dengan menghadap kiblat.
B.
Saran
Semoga dengan
tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang
perbedaan pendapat waktu melempar jumrah dalam haji. Walaupun terjadi perbedaan
pendapat tentang waktu melempar jumrah dalam haji oleh madzhab fiqh, tentu
tidak boleh saling menjatuhkan antara madzhab yang satu dengan madzhab yang
lainnya dan menganggap aliran madzhab yang diikuti lebih benar. Karena Imam madzhab
tersebut tentu mempunyai dalil atau dasar hukum untuk memperkuat pendapatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Al Majd, Ahmad. Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusyd).
2006. Jakarta: Pustaka Azzam. Jilid 1
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. 2006.
Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Hasan, M. A. Perbandingan Mazhab Fiqh.
2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mughniyah, M, J. Fiqh Lima Mazhab.
2002. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Syaf Mahyudin. Terjemah Fikkih Sunnah (Sayyid
Sabiq). 1993. Bandung: Alma ‘Arif. Jilid 5
Umar, Abdullah
Kamil. Tabel Empat Madzhab.2010. Solo: Media Dzikir. Cet 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar