Selasa, 22 November 2016

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH DALAM HAJI

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH DALAM HAJI
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Perbandingan Madzhab
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) SMT IV

logo-iain-syekh-nurjati.jpg


Disusun Oleh:
Kelompok IX

1.     Nafilaturrohmah       (1414112093)
2.     Abdul Muhit              (1414113115)
3.     Vanny Yolanda         (1414112114)

DosenPengampu :
      Drs. H.Abdul Ghofar, MA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATICIREBON
TAHUN 2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Rukun haji ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tidak sah tanpa rukun tersebut. Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda), yaitu meyembelih binatang. Wajib haji ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tetap sah bila wajib haji itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang).
Bagi setiap haji, baik haji tamattu, qiran, atau ifrad diwajibkan melempar jumrah di Mina. Jumlah jumrah tersebut sebanyak sepuluh. Pertama pada hari raya, yang dinamakan Jumratull ‘Aqabah adalah amalan haji pertama yang dilakukan di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah. Mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat yaitu yang pertama melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari dan yang kedua melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar. Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq hukumnya wajib sedangkan pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian lontar/ lempar jumroh?
2.      Bagaimana sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar jumroh?
3.      Apa hukum lempar jumroh?
4.      Apa saja syarat-syarat melempar jumrah?
5.      Apa saja sunnat-sunnat melempar jumrah?
6.      Apa hukumnya mabit (bermalam) di Mina?
7.      Bagaimana pendapat Ulama Fiqh tentang waktu melempar jumroh?
8.      Bagaimana waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan hukumnya?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengertian lontar/ lempar jumroh.
2.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar jumroh.
3.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hukum lempar jumroh.
4.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan syarat-syarat melempar jumrah.
5.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sunnat-sunnat melempar jumrah.
6.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hukumnya mabit (bermalam) di Mina.
7.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pendapat Ulama Fiqh tentang waktu melempar jumroh.
8.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan hukumnya





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Lontar Jumroh
Lempar jumrah atau lontar jumrah adalah sebuah kegiatan yang merupakan bagian dari ibadah haji tahunan ke kota suci Mekkah, Arab Saudi. Para jamaah haji melemparkan batu-batu kecil ke tiga tiang (jumrah berasal dari bahasa Arab: jamarah, jamak: jamaraat) yang berada dalam satu tempat bernama kompleks Jembatan Jumrah, di kota Mina yang terletak dekat Mekkah.
Para jamaah mengumpulkan batu-batuan tersebut dari tanah di hamparan Muzdalifah dan meleparkannya. Kegiatan ini adalah kegiatan kesembilan dalam rangkaian kegiatan-kegiatan ritual yang harus dilakukan pada saat melaksanakan ibadah haji, dan umumnya menarik jumlah peserta yang sangat besar (mencapai lebih dari sejuta jemaah).[1]

B.     Sejarah dan hikmah disyariatkannya melempar jumroh
عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال :” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“. Ibnu Abbas kemudian mengatakan, “Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.
Dari sisi sanad riwayat di atas tidak ada masalah; status sanadnya shahih. Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, beliau berdua menshahihkan riwayat ini. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17), hadits nomor 1156.
Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas di atas. Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah melempari setan secara konkrit. Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar sedang terikat di tugu jumrah dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan yang mengenai tubuhnya. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas dalam perkataan beliau. Merajam setan di sini tidak dimaknai makna konkrit, akantetapi yang benar adalah makna abstrak. Artinya setan merasakan sakit dan terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah. Dalam pernyataan Ibnu Abbas diungkapkan dengan istilah “merajam setan”. Demikianlah yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam perkataannya tersebut. Terdapat bukti yang kuat, yang membenarkan kesimpulan ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَات
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” (QS. Al-Baqarah: 203).
Masuk dalam cakupan perintah berdzikir pada hari-hari yang berbilang dalam ayat di atas adalah melempar jumrah. Karena Allah ta’ala berfirman pada potongan ayat selanjutnya,
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْه
Barangsiapa yang ingin segera menyelesaikan lempar jumrahnya dalam dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menyempurnakannya dalam tiga hari, maka tidak ada dosa pula baginya.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Ini bukti bahwa hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, bukan untuk melempari setan. (Adhwa-ul Bayan, 4/479).  Juga sesuai dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه
Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
Setelah menyampaikan hadits ini, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
هذه هي الحكمة من رمي الجمرات ولهذا يكبر الانسان عند كل حصاة لا يقول: اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بل يكبر ويقول : الله اكبر. تعظيما لله الذي شرع رمي هذه الحصى
“Inilah hikmah dari ibadah melempar jumrah. Oleh karena itu, (saat melempar jumrah) orang-orang bertakbir di setiap lemparan, mereka tidak mengucapkan,  “A‘uudzubillahi minasy syaithaanir rajiim” (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Mereka justru bertakbir, “Allahu akbar“, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah yang telah mensyariatkan ibadah melempar jumrah.” (Majmu’ Fatawa War Rasaa-il Ibni ‘Utsaimin, 3/133)
Jadi, hikmah disyariatkannya melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah ta’ala. Bukan sebagaimana keyakinan sebagian orang, yang mengatakan bahwa melempar jumrah dalam rangka melempari setan.



Dari Imam Nawawi rahimahullah, berkata:
ومن العبادات التي لا يفهم معناها : السعي والرمي ، فكلف العبد بهما ليتم انقياده ، فإن هذا النوع لاحظ للنفس فيه ، ولا للعقل ، ولا يحمل عليه إلا مجرد امتثال الأمر ، وكمال الانقياد فهذه إشارة مختصرة تعرف بها الحكمة في جميع العبادات والله أعلم انتهى كلام النووي
“Sebagian ibadah tidak diketahui maksud atau tujuannya, semacam sa’i dan melempar jumrah. Allah membebani seorang hamba untuk melakukan dua ibadah tersebut agar kepatuhannya kepada Allah semakin sempurna. Karena jiwa tidak mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak pula akal”.
Tidak ada motivasi yang mendorongnya untuk melakukan perintah tersebut, melainkan semata-mata mematuhi seruan Allah, serta ketundukan yang sempurna (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dengan kaidah ringkas ini, akan mengetahui hikmah semua ibadah.”
(Dikutip oleh Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir beliau Adhwaa-u Al-Bayan 4/480, dari kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab).

Berkata Abdul Hamid al-Ghazali rahimahullah dalam buku al-ihya’ sebagai berikut: mengenai melempar jumrah hendaklah diniatkan oleh si pelempar tunduk kepada perintah dan menyatakan pengabdian dan penghambaan diri, didorong oleh semata-mata ketundukan dan kepatuhan, tanpa memberikan lowongan bagi pengaruh cita ataupun rasa. Kemudian hendaklah di maksudkannya pula buat mengikuti jejak langkah Ibrahim sewaktu dihadang oleh iblis ditempat itu untuk merusak ibadah hajinya atau menggodanya agar melakukan ma’siat, lalu ia di titah oleh Allah Swt, agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan mematahkan harapannya.



C.    Hukum Lempar Jumroh
Rukun ialah sesuatu yang harus dikerjakan dan haji tidak sah, tanpa rukun tersebut. Rukun tidak dapat diganti dengan dam (denda), yaitu meyembelih binatang. Wajib ialah sesuatu yang harus dikerjakan, dan haji tetap sah bila wajib haji itu tidak dilaksanakan dan boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang). Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah aqabah dan melempar tiga jumrah.
Jumhur ulama bependapat bahwa melempar jumroh itu hukumnya wajib dan ia merupakan rukun, dan bahwa meninggalkannya dapat diganti dengan menyembelih hewan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dan Nasai dari Jabir ra, berkata :
رءيت النبى صلى الله عليه و سلم يرمى الجمرة على راحلته يوم النحر, ويقول: لتآخذ واعنى منا سككم فآنىذ  لاآدرى لعلى لاأحج بعد حجتى هذه
“Saya melihat Nabi Saw. Melempar jumrah dari kendaraannya pada hari nahar, lalu sabdanya; “hendaklah kamu mencontoh upacara-upacara haji mu dari padaku, karena aku tidak tahu apakah aku masih akan naik haji lagi setelah haji ini”
Diterima dari Abdurrahman Taimi, katanya: “Kami di titah oleh Rasulullah Saw, untuk melempari jumrah diwaktu haji wada’ dengan batu-batu kecil sebesar kacang”
Ibnu ‘Umar biasa mengambil batu-batu krikil itu di Muzdalifah, hal itu juga dilakukan oleh Sa’id bin Jubeir: “Orang-orang mengambil bekal krikil itu di sana”. Dan imam syafi’i memandangnya itu sunah.

D.    Syarat-Syarat Melempar Jumrah
Melempar beberapa jumrah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Niat, Imamiyah mengharuskannya. Pelontaran Jumrah tidak didorong oleh niatan yang lain yang bukan ibadah Haji.
2.      Lemparan itu harus dengan tujuh batu, menurut sepakat ulama. Melontar Jumrah 7 kali dengan yakin, walaupun hanya dengan satu batu yang digunakan berulang kali. Andaikata dengan 7 batu yang dilontarkan sekaligus maka pelontaran tersebut dihitung satu kali.
3.      Lemparan itu harus dengan batu secara satu-satu, dan tidak boleh dua-dua atau juga sekaligus, menurut sepakat semua ulama.
4.      Batu yang dilempar itu harus sampai ke Jumrah, yakni mencapai sasarannya, menurut sepakat ulama. Tempat yang dituju dengan pelontaran tersebut adalah lobang tempat batu-batu kerikil, bukan tugu yang berada di tengahnya dan bukan dinding di kanan kirinya.
5.      Sampainya batu harus dilakukan (dengan cara) dilempar. Maka tidak cukup hanya dengan jatuh, menurut Imamiyah, Syafi’i. Tetapi menurut Hambali  dan Hanafi boleh. Melontar dengan tangan jika mampu, dan perbuatannya harus yang bernama melontar (bukan meletakkan dan lain sebagainya).
6.      Yang dilempar itu harus batu. Maka tidak cukup dengan garam, besi, kuningan, bambu, dan tembikar, menurut semua ulama mazhab selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis dari tanah dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu.
7.      Batu-batu yang dilempar itu adalah batu-batu yang belum pernah dipakai untuk melempar, hal ini dijelaskan oleh Hambali tetapi tidak disyaratkan suci dalam melempar, namun bila suci, itu lebih utama. Boleh juga melempar dengan krikil-krikil bekas, yakni yang dipungut dari sekeliling jumrah. Tetapi bagi golongan Hanafi, juga bagi Syafi’i dan Ahmad  menghukuminya makruh.
8.      Pelontaran Jumrah pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13) harus tertib, yakni mendahulukan Jumrah Ula kemudian Jumrah Wustha dan yang terakhir Jumrah Aqobah.
9.      Harus masuk waktu pelontaran Jumrah tersebut. Tidak sah dilakukan diluar waktunya.

E.     Sunnat-Sunnat Melempar Jumrah
1.      Dengan tangan kanan.
2.      Kerikilnya kira-kira sebesar kacang tanah atau lebih kecil dari ujung jari.
Imamiyah, batu yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya adalah khirsy, tidak hitam, tidak putih, dan tidak merah. Mazhab yang lain disunnahkan sebesar biji kacang. Seandainya seseorang melampauinya cukup menghukumi makruh. Tetapi menurut Ahmad tidak sah, sampai ia menggantinya dengan batu-batu krikil. Berdasarkan perbuatan Nabi Saw., juga larangannya terhadap demikian. Diterima dari Sulaiman bin ‘Amr bin Ahwsah Azdi yang diterimanya dari ibunya yang mengatakan: “saya dengar Rasulullah Saw. Ketika itu ia sedang berada di dasar lembah dan bersabda: “Hai manusia! Janganlah kamu berbunuh-bunuhan! Maka jika kamu melempar jumroh, gunakanlah batu-batu krikil”.
Dalam hal ini golongan Hanafi berbeda pendapat. Menurut mereka boleh dengan apa saja termasuk jenis tanah, baik berupa batu, tanah, tembikar, batu bata dan lain-lain. Karena hadits-hadits yang diterima mengenai melempar adalah  mutlak tanpa kaitan. Mengenai perbuatan Rasulullah Saw, dan para sahabat hanya menunjukan bukan keutamaan, bukan pembatasan.
3.      Kerikilnya dicuci
4.      Setiap lontaran disertai dengan bacaan takbir.
5.      Menghadap kiblat waktu melontar Jumrah pada hari-hari Tasyriq.
6.      Berdo’a kepada Allah dengan menghadap kiblat sesudah melontar Jumrah Ula dan Wustha.
Imamiyah, bagi orang yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua perbuatan-perbuatan haji itu dengan menghadap kiblat, kecuali pada jumrah ‘aqabah pada hari raya. Mazhab lain, bahkan disunnahkan menghadap kiblat dalam semua keadaan.
Disunnahkan pula ketika melempar sambil berjalan kaki, tetapi dibolehkan sambil menaiki kendaraan. Tidak boleh jauh dari jumrah lebih dari 10 hasta, disunnahkan pula dengan tangan kanan, dan berdoa dengan doa yang baik, indah serta doa-doa yang terkenal. Diantara doa yang terkenal itu seperti berikut:
ya Allah, jadikanlah haji itu haji yang diterima, dan dosa yang diampuni... ya Allah, sesungguhnya ini adalah batu hitunganku, maka hitunglah terhadap diriku, dan masukkanlah ia dalam amalanku... Allah Maha Besar, Ya Allah jauhkanlah syetan dariku...”

7.      Muwalat / berturut-turut antara lontaran-lontaran setiap Jumrah.

F.     Hukum Mabit (Bermalam) di Mina
Salah satu tempat yang bersejarah bagi umat Islam adalah Mina. Mina adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi. Mina didatangi oleh jama’ah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jamaah haji tinggal disini selama sehari semalam hingga dapat melakukan shalat Dzhuur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh. Kemudian setelah selesai mengerjakan shalat shubuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah. Amalan seperti ini dilakukan Rasulullah Saw saat berhaji dan hukumnya Sunnah, artinya tanggal 9 Dzulhijah sebelum berangkat ke Arafah tidak wajib mabit di Mina.
Mengenai mabit (bermalam) di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu:
1.      Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib, kecuali karena udzur syari’. Apabila sama sekali tidak mabit pada hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah) wajib membayar dam seekor kambing.
Apabila meninggalkan mabit satu malam maka wajib membayar fidyah 1 mud (3/4 liter beras atau semacamnya), dan apabila meninggalkan mabit 2 malam (bagi yang nafar sani), maka fidyahnya 2 mud.
2.      Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat. Apabila sama sekali tidak mabit di Mina pada hari-hari tasyriq disunatkan membayar dam seekor kambing dan apabila hanya sebagian saja maka di sunatkan membayar fidyah.[9] 

G.    Waktu Melempar Jumroh  Menurut Para Ulama’ Fiqh
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang melontar jumroh ‘Aqabah sebelum terbitnya fajar:
1.      Malik menilai tidak sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah Saw memberi rukhsah (keringanan) pada seorang pun untuk melontar jumrah Aqabah sebelum terbit fajar. Jadi hal itu tidak boleh dilakukan. Apabila ia melontarnya sebelum terbit fajar maka dia wajib mengulang kembali lontarannya. Inilah pendapat Abu Hanifah, Sufyan dan Ahmad.
2.      Imam Syafi’i berpendapat: tidak mengapa dia melakukannya. Meski Imam Syafi’i menganjurkan agar melontar setelah terbit fajar. Hujjah mereka yang tidak membolehkannya adalah perbuatan Nabi Saw di samping sabda beliau: خدوا عنى منا سككم “Ambilah dari ku cara ibadah haji kalian” Dan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah Saw mendahulukan orang-orang lemah dari keluarga beliau seraya bersabda: لاترموا الجمرة حتى تطلع الشمس “janganlah kalian melontar jumrah sampai matahari terbit”.

Sedangkan dasar pegangan kalangan ulama yang membolehkan melontar jumrah sebelum fajar adalah hadis Ummu Salamah ra yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan perawi lainnya yaitu bahwa Aisyah ra berkata : Rasulullah Saw menjemput Ummu Salamah pada hari penyembelihan hewan kurban, lalu ia melontar jumrah sebelum fajar. Setelah itu dia berlalu dan mengerjakan thawaf ifadoh. Hari itu adalah giliran Rasulullah Saw untuk bersamanya.
Para ulama telah bersepakat bahwa waktu yang dianjurkan untuk melontar jumrah aqabah adalah setelah matahari terbit sampai tergelincirnya matahari. Jika seseorang melontarkannya sebelum matahari terbenam maka lontarannya di anggap sah dan ia tidak menanggung apapun. Imam Malik menganjurkan untuk menyambelih hewan kurban.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang melontar jumrah aqabah saat matahari telah terbenam dan telah masuk malam hari atau hari berikutnya.
1.      Malik berpendapat dia wajib membayar denda (Hewan)
2.      Abu Hanifah menilai jika dia melontarnya pada malam hari, dia tidak terkena kewajiban apa pun. Namun jika ia mengakhirkannya hingga esok hari, maka ia wajib membayar denda.
3.      Abu Yusuf, Muhammad, dan Syafi’i berpendapat jika ia mengakhirkannya hingga malam hari atau hari berikutnya, dia tidak terkena kewajiban apapun. Hujjah mereka adalah sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw memberi rukhsah kepada para pengembala unta untuk melakukan hal tersebut (maksudnya, beliau memberi mereka rukhsah untuk melempar pada malam hari). Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw, “wahai Rasulullah, bolehkah aku melontar jumrah pada malam hari”. Beliau menjawab, “tidak mengapa”
Hukum melempar Jumroh adalah wajib dan bila ditinggalkan, maka ia harus membayar Dam. Melempar Jumroh Aqobah pada tgl 10 Dzul Hijjah afdholnya dilaksanakan sebelum mengerjakan amalan yang lain sesampainya ke Mina dari Muzdalifah, karena amalan tersebut sebagaimana thawafnya orang yang masuk Masjidil Haram Makkah adalah Tahiyyatal Masjid; Melempar Jumroh Aqobah tgl 10 adalah Tahiyyatal Mina. Melempar Jumroh Aqobah “ Afdolnya “ setelah terbit Matahari hingga tengah hari (Zawal) menurut pendapat Ulama.
Sedangkan hukum jawaz (bolehnya) memulai melempar Jumroh Aqobah pada tgl 10 (hari Nahr) ada berbagai pendapat :
1.       Menurut Imam Syafi’i Masuknya waktu melempar jumroh Aqobah adalah tengah malam akhir pada malam Idul Adha, sampai akhir hari Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari, hal itu dibolehkan; Dan apabila sampai batas waktu tersebut tidak melempar Jumroh, maka ia harus membayar Dam.
2.      Menurut Imam Hanafi masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah adalah terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari pada hari Nahr dan boleh melempar pada malamnya hingga fajar hari berikutnya, akan tetapi hukumnya Makruh, dan tidak membayar Dam. Apabila diakhirkan hingga terbenam matahari pada akhir hari Tasyriq, maka boleh, akan tetapi ia harus membayar Dam (dan tidak dikatakan qodlo’).
3.      Menurut Imam Maliki, masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah adalah terbitnya fajar hingga terbenamnya Matahari pada hari Nahr dan itu dikatakan Ada’. Adapun setelah terbitnya matahari hingga akhir Hari Tasyriq maka dikatakan Qodlo’ dan ia harus membayar Dam dengan Qodho’.
4.      Menurut Imam Ahmad bin Hambal, Masuknya waktu melempar jumroh Aqobah adalah tengah malam pada malam Idul Adha, sampai akhir hari Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari, dan tidak sah dilakukan pada malam hari di hari-hari Tasyriq, dan jika di akhirkan melemparnya pada akhir hari Tasyriq, maka tidak boleh melempar kecuali setelah Zawal, dan tidak membayar Dam.

Adapun berhenti membaca talbiyahnya orang yang berhaji, menurut  Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan para Ulama’ Jumhur adalah ketika awal melempar Jumroh Aqobah (lemparan kerikil yang pertama).

H.    Waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan hukumnya
Hukumnya yaitu wajib dan meninggalkannya harus membayar Dam. Waktunya ialah tidak sah melempar Jumroh kecuali setelah Zawal (Matahari di tengah-tengah / siang hari), ini pendapat Ulama’ Jumhur dan Imam 4, sebagaimana hadits Jabir : yang artinya  “ Bahwa Rasulullah Saw melempar Jumroh pada hari pertama dhuha (pagi hari setelah terbit Matahari), kemudian beliau tidak melempar lagi setelah itu kecuali setelah turunnya Matahari (setelah Zawal)” HR. Muslim. Dan dari Ibn Umar berkata “ Kami menanti saat baik, tiba-tiba matahari telah turun, maka kami melempar jumroh” (HR. Bukhori).
Akhir waktu melempar Jumroh yaitu tgl 13 Dzul Hijjah, ketika terbenam Matahari, menurut pendapat Ulama’ Jumhur, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i Dan apabila diakhirkan hingga malam hari sebelum Fajar, maka tidaklah membayar Dam, menurut Abu Hanifah.
Melempar tiga jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sesudah zawal (tergelincir matahari), sebagaimana hadits Ibnu Abbas.
Rasulullah melontar jumrah sesudah matahari tergelincir. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Dengan demikian tidak boleh melempar jumrah sebelum zawal. Sesudah zawal dimulai melontar jumrah sampai menjelang matahari terbenam. Sekiranya melontar pada malam harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah, karena keluar dari waktu yang ditetapkan. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan sebelum terbit fajar, dibolehkan dan tidak usah membayar dam. Hanabilah berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari.[7]
Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya. Kalau ia lupa ia harus melaksanakan besoknya. Kalau lupa lagi, ia harus melaksanakannya pada hari kedua belas. Dan kalaupun tidak ingat juga, maka ia harus melaksanakannya pada hari ketiga belas. Dan apabila lupa selamanya sampai keluar dari Mekkah, maka ia harus melaksanakannya pada tahun yang akan datang, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan pada orang lain.[8]

CATATAN:
1.      Sesudah melontar Jumrah Aqobah tersebut, orang Haji disunnatkan menyembelih qurban atau hewan hadyu. Waktu penyembelihan di mulai ketika terbit matahari pada hari raya Adha dan sesudah kira-kira shalat Id dengan kedua khutbahnya dilakukan, dan berakhir dengan masuknya waktu Maghrib tanggal 13 (yakni berakhirnya hari Tasyriq).
2.      a. Melontar Jumrah Aqobah saja itu, awal waktunya ialah malam 10 sesudah pertengahan malam dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
b.      Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
c.       Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 12, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
d.      Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
e.       Jadi andai kata orang Haji hendak melakukan semua pelontaran tersebut dijadikan satu waktunya pada tanggal  13 sebelum Maghrib adalah sah dan termasuk ada’ (bukan qodho’) asal tertib. Yaitu : Milik Jumrah Aqobah tanggal 10 didahulukan, kemudian milik tanggal 11 Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik tanggal 12 Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik tanggal 13 Ula-Wustha-Aqobah. Kalau  dibalik tidak sah.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Melempar jumrah adalah salah satu wajib haji, yaitu melempar jumrah ‘aqabah dan melempar tiga jumrah. Melempar jumrah ‘aqabah dilaksanakan pada hari raya haji, 10 Dzulhijjah. Kemudian mengenai waktu melempar jumrah ‘aqabah terdapat perbedaan pendapat. Melontar Jumrah Sesudah Terbit Matahari : Imam  Abu Hanifah, Malik, Sufyan, dan Imam Ahmad, berpendapat, melontar jumrah ‘aqabah dilaksanakan sesudah terbit matahari.Hambali dan Imamiyah berpendapat tidak boleh melempar jumrah ‘aqabah sebelum terbit fajar tanpa ada udzur.
Melontar jumrah sesudah malam hari, atau keesokan harinya terdapat perbedaan pendapat : Imam Malik mengatakan harus membayar dam, Imam  Abu Hanifah  mengatakan, bila orang itu melontar jumrah pada malam harinya, tidak usah membayar dam dan bila melontar jumrah pada keesokan harinya harus membayar dam, Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat dan murid Abu Hanifah) mengatakan, tidak usah membayar dam.
Melontar Jumrah Sebelum Terbit Fajar : Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat,bahwa melontar jumrah sesudah tengah malam menjelang hari raya dan lebih afdal sesudah terbit matahari.
Melempar tiga jumrah dilaksanakan setiap hari pada hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sesudah zawal (tergelincir matahari). Melontar pada malam harinya, mesti diqadha menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Hanafiyah, bila melontar pada malam harinya dan sebelum terbit fajar dibolehkan. Hanabilah berpendapat, tidak boleh melontar jumrah kecuali pada siang hari sesudah zawal. Syafiiyah berpendapat, waktu melontar dimulai dari zawal sampai terbenam matahari. Imamiyah juga berpendapat waktu melempar jumrah tersebut mulai dari terbitnya matahari sampai terbenamnya.
Mengenai mabit di Mina tempat melontar jumrah ada dua pendapat yaitu: Pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Hambali, dan Imam Syafi’i, mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya wajib. Pendapat Imam Abu Hanafiyah dan pendapat lain dari Imam Syafi’i mabit di Mina hukumnya sunat.
Melempar jumrah mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: Niat, Imamiyah mengaharuskannya, sampainya batu harus dilakukan (dengan cara) dilempar menurut Imamiyah, Syafi’i. Tetapi menurut Hambali  dan Hanafi boleh. Menurut semua ulama mazhab selain Abu Hanifah. Ia berpendapat: Setiap sesuatu yang sejenis dari tanah dibolehkan, baik tembikar, lumpur maupun batu. Batu-batu yang dilempar belum pernah dipakai untuk melempar, hal ini dijelaskan oleh Hambali.
Imamiyah, batu yang akan dilempar itu disunnahkan batu yang sebesar ujung jari, dan warnanya adalah khirsy. Mazhab yang lain disunnahkan sebesar biji kacang. Imamiyah, bagi orang yang haji disunnahkan untuk mengerjakan semua perbuatan-perbuatan haji itu dengan menghadap kiblat.
B.     Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang perbedaan pendapat waktu melempar jumrah dalam haji. Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang waktu melempar jumrah dalam haji oleh madzhab fiqh, tentu tidak boleh saling menjatuhkan antara madzhab yang satu dengan madzhab yang lainnya dan menganggap aliran madzhab yang diikuti lebih benar. Karena Imam madzhab tersebut tentu mempunyai dalil atau dasar hukum untuk memperkuat pendapatnya.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Al Majd, Ahmad. Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusyd). 2006. Jakarta: Pustaka Azzam. Jilid 1
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. 2006. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Hasan, M. A. Perbandingan Mazhab Fiqh. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mughniyah, M, J.  Fiqh Lima Mazhab. 2002. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Syaf Mahyudin. Terjemah Fikkih Sunnah (Sayyid Sabiq). 1993. Bandung: Alma ‘Arif. Jilid 5
Umar, Abdullah Kamil. Tabel Empat Madzhab.2010. Solo: Media Dzikir. Cet 1






[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Lempar_jumrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar